Menurut World Health Organization (2017), 45% kematian balita disebabkan oleh kekurangan gizi. Menurut data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Penilaian Status Gizi (PSG) tahun 2017 diketahui bahwa secara nasional 11,3% balita usia 0-23 bulan mengalami gizi kurang (berdasarkan indikator BB/U). Puskesmas Gemaharjo memiliki 4 wilayah Desa (Gemaharjo, Tahunan Baru, Tahunan, dan Ploso), dimana prosentase balita gizi burukunya 0,009%. Prosentase kecil, tidak menjadikan lintas program dan lintas sektor berdiam diri untuk menangani balita gizi buruk. Hal ini dimulai dari berbagai kegiatan, yang meliputi:
Screening balita gizi buruk dilakukan setiap bulan, melalui pengukuran anthropometri, dimana kegiatannya: penimbangan berat badan (setiap bulan) dan pengukuran panjang badan/tinggi badan (setiap tiga bulan). Data anthropometri tersebut dianalisa menggunakan software anthropometri, sehingga dapat diketahui nila Z-score berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB.
Rekap status gizi per posyandu akan di berikan lintas program (Gizi dan KIA) serta lintas sektor (pihak Desa yang ada diwilayah Puskesmas Gemaharjo). Data balita gizi buruk harus sinkron dari berbagai sektor, hal ini bertujuan agar intervensi untuk balita gizi buruk mempunyai sasaran yang sama.
Menurut Almatsier (2004), masalah gizi disebabkan oleh adanya kemiskinan, rendahnya ketersediaan pangan, dan sanitasi lingkungan yang buruk. Asupan zat gizi yang baik dapat membuat anak memiliki status gizi yang baik pula begitu juga sebaliknya. Pemberian MP-ASI (MP-ASI) sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizinya karena pemberian MP-ASI juga sangat memengaruhi status gizi bayi. Pendapatan keluarga yang rendah menjadi salah satu hal yang menyebabkan adanya masalah gizi. Tingkat pendapatan mempengaruhi kemampuan daya beli dan pemilihan jenis makanan (Adair. 2019).
Ketersediaan makanan dalam keluarga secara tidak langsung dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi keluarga. Tercapainya ketersediaan makanan yang baik dalam keluarga akan memengaruhi pola konsumsi dalam keluarga yang nantinya akan memengaruhi intake zat gizi keluarga (Adair. 2019).
Melalui dana BOK, 100% balita gizi buruk mendapatkan makanan tambahan dan suplemen, dengan menu sebagai berikut:
Monitoring dan evaluasi penanganan balita gizi buruk dilakukan setiap bulan melalui kegiatan di posyandu balita dan kunjungan rumah, melalui kegiatan tersebut perkembangan status gizi balita dapat terpantau dengan maksimal
About the author